Showing posts with label KUMPULAN CERITA PARA PENGUSAHA SUKSES. Show all posts
Showing posts with label KUMPULAN CERITA PARA PENGUSAHA SUKSES. Show all posts

Wednesday, April 12, 2017

KUMPULAN CERITA PARA PENGUSAHA SUKSES



Tela Krezz, Makanan 'Wong Ndeso' Beromzet Miliaran Rupiah 

Jakarta - Makanan lokal kadang kala tak terlalu banyak dilirik oleh banyak orang sebagai potensi bisnis yang menggiurkan. Namun lain halnya dengan Firmansyah Budi, pendiri Tela Krezz ini, yang sudah sejak tahun 2006 memulai bisnis kemitraan makanan olahan singkong atau ketela (cassava) Tela Krezz (singkong goreng berbumbu). Kisah Firmansyah membangun bisnis makanan olahan singkong dengan bendera Tela Krezz berawal hanya dari satu grobak pinjaman ibu-nya dengan modal awal Rp 200.000. Dari situ ia mulai memiliki keyakinan bahwa bisnis makanan olahan dari singkong sangat berprospek.Menurutnya, sangat malu sekali jika Indonesia masih terus mengimpor bahan baku pangan yang memang tak bisa berkembang baik di Indonesia seperti gandum. Saat ini kata dia, Indonesia termasuk negara penghasil singkong terbesar ketiga di dunia dibawah Brazil. Keyakinannya akhirnya terjawab, sekarang ini ia sudah memiliki ratusan mitra Tela Krezz dengan omset yang menggiurkan. Firmansyah terinspirasi mengangkat pangan singkong menjadi makanan olahan karena saat ini pasar pangan dalam negeri sudah dibanjiri produk pangan impor seperti kedelai, tepung gandum, jagung, dan masih banyak lainnya. "Ini berawal dari keprihatinan saya, sekarang ini bahan baku makanan semuanya gandum, yang impor. Kenapa tak pakai content lokal," kata Firmansyah kepada detikFinance, akhir pekan lalu. Firmansyah yang lulusan Sarjana Hukum ini, awalnya tak langsung menceburkan diri ke ranah bisnis. Semenjak lulus kuliah 2004, ia masuk LSM bidang pembangunan komunitas (community development), dari situlah matanya terbelalak soal banyaknya kasus bermasalah TKI diluar negeri yang harusnya bisa dicegah jika ada lapangan kerja di dalam negeri. "Sekarang saya sudah punya 60 karyawan langsung, belum yang outsourcing," katanya. Semangat inovasinya mengembangkan pangan singkong bukan hanya sebatas Tela Krezz, ia juga mengembangkan produk Tela Cake semacam brownies dari singkong, kue Bika Ambon, Bakpia, Keripik Singkong dan lain-lain. "Saya mimpinya kedepan, orang bisa aware dengan produk lokal kita, kalau tidak maka kita akan tergusur," katanya. Menurut pria kelahiran Semarang, 5 Desember 1981 ini, mengolah makanan seperti singkong yang sudah terlanjur dipandang sebagai makanan 'ndeso' memang perlu upaya keras. Konsep makanan Tela ia kembangkan dengan membuat makanan singkong lebih moderen dan menarik. "Kenapa saya tak mau disebut sebagai brownies, saya ingin dengan nama tela cake. Jadi kalau kita bisa olah dengan moderen dan dinamis, kita bisa ubah mindset makanan wong ndeso ini jadi moderen. Harus diubah mindsetnya, makanan itu kan karena kebiasaan," jelasnya. Untuk urusan pemasaran, Firmansyah sengaja mengembangkan pemasaran Tela Cake dengan konsep makanan oleh-oleh asli Jogjakarta. Ini penting untuk memperkuat image Tela Cake sebagai makanan khas, meski ia pun berencana memasarkan produk tersebut ke pasar ritel umum namun dengan merek yang berbeda. Ia mengaku saat ini mampu menjual 1000-1500 paket Tela Cake. Harga satu paket Tela Cake dibandrol hingga Rp 28.000,

tentunya sudah terbayang berapa omset dari Firmansyah dari hanya menjual brownies ala singkong tersebut. Ini belum dihitung dari produk Tela Krezz-nya yang lebih dahulu ia kembangkan. Masih seputar pangan lokal, upaya Firmansyah tak cukup disitu. Pada tahun 2009 ia juga mengembangkan produk olahan cocoa atau kakao menjadi makanan coklat yang lezat dan menarik. Kali ini, Firmansyah membentuk divisi khusus di Tela Corporation yang menjadi bendera resmi usahanya. "Mulai 2009 saya juga membuat produk coklat roso (cokro), yang juga berkonsep makanan oleh-oleh Jogjakarta," jelasnya. Keinginannya mengembangkan produk coklat, kurang lebih sama dengan kegusarannya terhadap produk tepung pangan impor. Menurutnya Indonesia, merupakan penghasil kakao yang diperhitungkan di dunia, namun minim memiliki produk olahan coklat. Jika pun ada, produk coklat olahan di pasar Indonesia berasal dari impor dan bermerek asing. Ia berharap coklat buatannya bisa menjadi pilihan pasar dan bisa mematahkan dominasi produk coklat asing di pasar Indonesia. "Visi saya bagaimana melakukan pemberdayaan pangan lokal," katanya. Sehingga kata dia, dengan pemberdayaan pangan lokal serapan tenaga kerja lokal semakin tinggi misalnya jika singkong dikembangkan maka berapa banyak petani yang bisa hidup, berapa banyak kuli panggul yang bekerja, berapa banyak pekerja pemotong singkong yang terserap dan lain-lain. Meskipun dengan idealisme yang tinggi, Firmansyah tak gigit jari, usahanya yang dirintis sejak 2006 sudah membuahkan hasil yang fantastis. "Kalau dihitung-hitung omset saya sampai ratusan juta per bulan. Setahun bisa sampai Rp 10 miliar lebih," katanya. Bagaimana mau mencoba dengan pangan-pangan lokal lainnya? 

Firmansyah Budi Jl. Bugisan 36, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta 55251 Email: homygroup@yahoo.com (Suhendra - detikFinance ).


Menyasar segmen pekerja, sukses lewat dunia maya

Bosan menjadi pekerja selama 15 tahun, Hikmanul Hakim memutuskan membuka usaha jualan busana muslim. Kegagalan di tahun pertama membuatnya lebih berani memasarkan produk secara online. Alhasil, bisnisnya sukses di dunia maya. Menjelang Lebaran, busana muslim menjadi sangat laku. Rupanya, orang ingin merayakan kemenangan setelah berpuasa, sembari berkumpul dengan keluarga, memakai baju baru. Salah satu yang menikmati berkah di masa seperti sekarang adalah Hikmanul Hakim. Meski hanya memiliki satu butik di ITC BSD, Hakiem – begitu ia biasa disapa – sukses berbisnis busana muslim secara online. Ia memasarkan 90% produknya lewat website dan situs jejaring sosial. Dalam sehari, ia meraup omzet Rp 7 juta sampai Rp 10 juta. Tapi, sejak sebulan terakhir, omzetnya bisa mencapai Rp 20 juta per hari. Kesuksesan Hakim ini tidak datang dari langit. Ia merintis butik busana muslim Rumah Madani dengan keringat. Pria kelahiran Sidoarjo, 7 Februari 1969, ini dibesarkan di keluarga pegawai negeri sederhana. Ayahnya adalah seorang staf di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan sang ibu guru. Sejak kecil, Hakim sudah didorong untuk berprestasi secara akademis. Ia selalu fokus pada studi. “Boro-boro mikirin soal bisnis,” ujarnya. Hasilnya, ia selalu juara kelas. Puncaknya, ia menamatkan kuliah di Institut Teknologi Surabaya, Jurusan Teknik Fisika bidang Instrumentasi, dengan predikat sangat memuaskan. Selulus kuliah pada 1992, Hakiem merantau ke Jakarta. Penyuka ilmu eksakta ini bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan teknologi informasi (TI). “Saya belajar TI secara otodidak,” ungkapnya. Selanjutnya, selama 15 tahun, ia berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, hingga terakhir bekerja di PT Fujitsu Indonesia. Sebenarnya, Hakiem cukup mapan dengan kariernya. Gajinya tergolong besar. “Selalu di atas Rp 10 juta,” ungkapnya. Tapi, ia merasa jenuh. Kemacetan ibukota dan jadwal kerja yang ketat membuatnya tidak nyaman. Di pikirannya, ia ingin mengubah cara mencari nafkah dengan berbisnis. Hakiem lantas mensurvei segala jenis bisnis, dari jual beli beras sampai waralaba burger. Ia sempat terpikir membuka usaha konsultan IT sendiri. Tapi, ia tak pernah bisa merealisasikan sementara belum keluar dari tempat kerja. Ayah dari Fahmi, Jihad, dan Hanif ini pun resmi mundur pada April 2007. “Saat itu, keluarga besar saya heboh, mengatai saya bodoh karena melepas kemapanan,” kenangnya. Untunglah sang istri tercinta tetap mendukung lantaran lebih punya waktu untuk keluarga. Gagal di tahun pertama Hakiem akhirnya memutuskan berbisnis busana muslim. Ia melihat, peluangnya cukup besar. Pada Mei 2007, ia membuka butik Rumah Madani di ITC BSD. Modal awalnya Rp 40 juta, setengah di antaranya untuk untuk sewa tempat. Di butiknya, Hakiem menjual aneka busana muslim dan aksesorinya seperti kerudung, jilbab, dan cadar. Harga jualnya berkisar Rp 80.000 sampai Rp 500.000. “Segmennya untuk kalangan menengah ke atas, terutama para pekerja,” ujarnya. Di tahun pertama, bisnis Hakiem sudah meredup. Omzet penjualannya sangat kecil. “Profit kotornya hanya Rp 1 juta tiap bulan, habis untuk membayar gaji SPG,” terangnya. Praktis selama setahun, sang istri yang bekerja di Pamulang Medical Center lebih banyak menafkahi keluarga. Kegagalan itu sempat membuat Hakiem frustrasi, tapi sekaligus memacu semangat. “Saya tahu, penyebab kegagalan itu karena jaringan penjualan belum ada, kurang pemasok, kualitas barang, terutama model, tren, dan reputasi butik masih kurang,” ujarnya. Di tahun kedua, Hakiem berusaha memperbaiki. Ia mulai mensurvei selera pasar dan memilih pemasok yang bagus. Ia juga mulai merintis menjual secara online sejak Juni 2007. Awalnya, Hakiem membuat sebuah blog untuk mempromosikan tokonya. Setengah tahun jalan, penjualannya bagus. Pembeli terbanyak berasal dari karyawan kantor. Ia juga menjaring pembeli dari mancanegara. “Paling banyak dari Malaysia dan Singapura,” ujarnya. Pada 2008 itu, Hakiem membuat situs www.rumahmadani.com. Ia juga memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook. “Sekarang ini siapa, sih, yang tidak punya Facebook?” ungkapnya. Saat ini, Rumah Madani sudah memiliki 80.000-an fans di Facebook. Sejak awal 2008, omzet penjualan busana muslim Rumah Madani naik drastis. Dalam sehari, pendapatannya bisa mencapai Rp 10 juta. Sekitar 90% berasal dari transaksi secara online. “Penjualan secara online ternyata lebih efektif karena bisa menjangkau pasar yang lebih luas dengan biaya operasional murah,” katanya. Dengan mengambil margin untung antara 5%–60%, saat ini, penjualan rata-rata sehari sekitar 300 barang. Dengan mempekerjakan 12 karyawan, kini, ia hanya memantau bisnis dari rumah. Ia ingin ekspansi dengan mendirikan butik di daerah. “Saya ingin Rumah Madani menjadi rujukan pertama orang dalam mencari busana muslim di Indonesia,” terangnya. Reff: 

http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/45739/Menyasar-segmen-pekerjasukses-lewat-dunia-maya (whd)


Petakumpet, dari Komunitas Menjelma Jadi Biro Iklan Papan Atas

Good is not enough! Ya, Bagus saja tidak cukup!Begitulah slogan yang dikibarkan Petakumpet. Sebuah perusahaan yang sangat percaya bahwa berjualan ide adalah bisnis sangat mahal meski hanya bermodal nol besar. KARYA-karya Petakumpet yang banyak terpampang di berbagai sudut Jogjakarta, media, maupun di tempat-tempat strategis sebenarnya sudah menggambarkan sebesar apa perusahaan itu. Belum lagi, sederet penghargaan yang berhasil disabet dalam berbagai kompetisi di dunia periklanan. Tapi, siapa yang menyangka kelahiran PT Petakumpet berawal dari sebuah komunitas. Petakumpet berangkat dari sebuah komunitas mahasiswa Desain Komunikasi Visual FSR ISI Jogja angkatan 1994. Terbentuk kali pertama sebagai sebuah komunitas pada 1 Mei 1995. Komunitas itu hanya bermarkas di studio kecil di Pakuncen, Jogja. Anggotanya kurang lebih 25 orang. Kala itu, order kecilkecilan mulai didapat dengan promosi dari mulut ke mulut. Waktu itu banyak anggota masih aktif sebagai mahasiswa ISI Jogja. Sejak membentuk studio kecil tersebut, anggotanya kuliah sambil bisnis kecil-kecilan. Antara lain, memproduksi stiker, sablon, poster, spanduk, dan komik. Mereka bermimpi di kemudian hari menjadikan Petakumpet sebagai tambang uang. Demi mengejar mimpi, seluruh order dan usaha pengembangan bisnis dilakoni. Akibatnya, banyak ''penghuni'' Petakumpet yang memutuskan cuti kuliah tanpa batas waktu yang jelas. Mereka kompak mengejar mimpi-mimpi itu. ''Hanya bermodal keberanian dan semangat, dipadukan dengan kerasnya dengkul,'' ujar Executive Creative Director PT Petakumpet Creative Network Arief Budiman. Namun, siapa sangka, itu merupakan awal berdirinya Petakumpet yang mulai dikenal di kalangan periklanan. Sejat saat itu, Petakumpet mulai aktif mengadakan atau mengikuti pameran sebagai wujud komunikasi dan interaksi melalui media desain grafis dan ilustrasi. Aktivitas tersebut mampu mewarnai setiap individu di dalamnya. Mereka menjadi memiliki keterikatan secara moral dan etika untuk menjaga nama baik komunitasnya. Konsep studio juga memberikan banyak kemudahan dan kebebasan. Namun, ikatan yang longgar bagi anggota justru menyebabkan kelambanan bergerak, kesulitan pengelolaan, dan mengganjal pertumbuhan komunitas menjadi besar. Akhirnya, malah banyak anggota yang mengalami keputusasaan sehingga tak sedikit yang sibuk dengan usaha sendiri-sendiri di luar. Dari gejala-gejala itulah, muncul pemikiran bagaimana agar energi kreatif yang dimiliki anggota lebih efektif. Dari situ mulai berpikir membuat nama Petakumpet dikenal lebih luas, serta memperbaiki manajemen. Tak bisa hanya mengandalkan bentuk komunitas yang kalau pekerjaannya selesai, untungnya langsung dibagi-bagi. ''Kalau koordinatornya adil, kemungkinan tak menjadi masalah. Kalau tidak, bisa bertengkar hebat antarteman,'' imbuh Arief. Lalu, pada September 1999, lima orang di dalamnya, Arief, Itok, Eri, Yudi, dan Bagoes, sepakat mereinkarnasi komunitasnya menamakan perusahaannya Petakumpet AIM (advertising,illustration, multimedia). Dengan berubah menjadi perusahaan, mulai ada aturan main, prosedur kerja, job description, sekaligus upah yang jelas. Dengan hanya bermodal dua komputer 386 DX, satu scanner, satu printer, dan sebuah kompresor, markas dipindah dari daerah Pakuncen ke rumah yang harus ditempuh melewati gang sempit di daerah Sorowajan. Dalam perkembangannya, kata Arief, perusahaan itu melewati berbagai rintangan yang tak bisa dihindari. Di antaranya, ketiadaan modal yang cukup serta SDM dan link bisnis yang terbatas. Berkat semangat untuk maju, berbagai tantangan berhasil dilalui. Singkat cerita, dengan semangat itulah, pada 7 Maret 2003, perusahaan kecil tersebut resmi menjadi badan usaha berbentuk perseroan terbatas dengan nama PT Petakumpet. Dengan staf yang sudah mencapai 45 orang, perusahaan itu memiliki armada yang lengkap untuk memberikan servis kreatif di bidang AIM. Arief dan kru Petakumpet yang lain sepakat menganggap bisnis ide adalah bisnis yang paling murah karena tak harus mengeluarkan modal rupiah. Tak disangka, pertumbuhan Petakumpet begitu cepat. Jumlah kliennya terus bertambah. Dari awalnya 12 institusi dan personal, kini lebih dari 350 klien. Petakumpet juga sudah memiliki dua kantor besar di Sleman, Jogja, dan di Bellagio Boutique Mall, Mega Kuningan, Jakarta. (nis/jpnn/oki) 

Sumber: Jawapos, Minggu, 06 September 2009 Posted by petakumpet at :http://ptpetakumpet.blogspot.com/ (whd)