Tela Krezz, Makanan 'Wong Ndeso' Beromzet Miliaran Rupiah
Jakarta - Makanan lokal kadang kala tak terlalu banyak dilirik oleh banyak orang sebagai
potensi bisnis yang menggiurkan. Namun lain halnya dengan Firmansyah Budi, pendiri Tela
Krezz ini, yang sudah sejak tahun 2006 memulai bisnis kemitraan makanan olahan singkong
atau ketela (cassava) Tela Krezz (singkong goreng berbumbu).
Kisah Firmansyah membangun bisnis makanan
olahan singkong dengan bendera Tela Krezz
berawal hanya dari satu grobak pinjaman ibu-nya
dengan modal awal Rp 200.000. Dari situ ia
mulai memiliki keyakinan bahwa bisnis makanan
olahan dari singkong sangat
berprospek.Menurutnya, sangat malu sekali jika
Indonesia masih terus mengimpor bahan baku
pangan yang memang tak bisa berkembang baik
di Indonesia seperti gandum. Saat ini kata dia,
Indonesia termasuk negara penghasil singkong
terbesar ketiga di dunia dibawah Brazil.
Keyakinannya akhirnya terjawab, sekarang ini ia sudah memiliki ratusan mitra Tela Krezz
dengan omset yang menggiurkan. Firmansyah terinspirasi mengangkat pangan singkong
menjadi makanan olahan karena saat ini pasar pangan dalam negeri sudah dibanjiri produk
pangan impor seperti kedelai, tepung gandum, jagung, dan masih banyak lainnya.
"Ini berawal dari keprihatinan saya, sekarang ini bahan baku makanan semuanya gandum,
yang impor. Kenapa tak pakai content lokal," kata Firmansyah kepada detikFinance, akhir
pekan lalu. Firmansyah yang lulusan Sarjana Hukum ini, awalnya tak langsung menceburkan
diri ke ranah bisnis. Semenjak lulus kuliah 2004, ia masuk LSM bidang pembangunan
komunitas (community development), dari situlah matanya terbelalak soal banyaknya kasus
bermasalah TKI diluar negeri yang harusnya bisa dicegah jika ada lapangan kerja di dalam
negeri. "Sekarang saya sudah punya 60 karyawan langsung, belum yang outsourcing,"
katanya. Semangat inovasinya mengembangkan pangan singkong bukan hanya sebatas Tela
Krezz, ia juga mengembangkan produk Tela Cake semacam brownies dari singkong, kue
Bika Ambon, Bakpia, Keripik Singkong dan lain-lain. "Saya mimpinya kedepan, orang bisa
aware dengan produk lokal kita, kalau tidak maka kita akan tergusur," katanya.
Menurut pria kelahiran Semarang, 5 Desember 1981 ini, mengolah makanan seperti singkong
yang sudah terlanjur dipandang sebagai makanan 'ndeso' memang perlu upaya keras. Konsep
makanan Tela ia kembangkan dengan membuat makanan singkong lebih moderen dan
menarik. "Kenapa saya tak mau disebut sebagai brownies, saya ingin dengan nama tela cake.
Jadi kalau kita bisa olah dengan moderen dan dinamis, kita bisa ubah mindset makanan wong
ndeso ini jadi moderen. Harus diubah mindsetnya, makanan itu kan karena kebiasaan,"
jelasnya. Untuk urusan pemasaran, Firmansyah sengaja mengembangkan pemasaran Tela
Cake dengan konsep makanan oleh-oleh asli Jogjakarta. Ini penting untuk memperkuat image
Tela Cake sebagai makanan khas, meski ia pun berencana memasarkan produk tersebut ke
pasar ritel umum namun dengan merek yang berbeda. Ia mengaku saat ini mampu menjual
1000-1500 paket Tela Cake. Harga satu paket Tela Cake dibandrol hingga Rp 28.000,
tentunya sudah terbayang berapa omset dari Firmansyah dari hanya menjual brownies ala
singkong tersebut. Ini belum dihitung dari produk Tela Krezz-nya yang lebih dahulu ia
kembangkan.
Masih seputar pangan lokal, upaya Firmansyah tak cukup disitu. Pada tahun 2009 ia juga
mengembangkan produk olahan cocoa atau kakao menjadi makanan coklat yang lezat dan
menarik. Kali ini, Firmansyah membentuk divisi khusus di Tela Corporation yang menjadi
bendera resmi usahanya. "Mulai 2009 saya juga membuat produk coklat roso (cokro), yang
juga berkonsep makanan oleh-oleh Jogjakarta," jelasnya. Keinginannya mengembangkan
produk coklat, kurang lebih sama dengan kegusarannya terhadap produk tepung pangan
impor. Menurutnya Indonesia, merupakan penghasil kakao yang diperhitungkan di dunia,
namun minim memiliki produk olahan coklat. Jika pun ada, produk coklat olahan di pasar
Indonesia berasal dari impor dan bermerek asing. Ia berharap coklat buatannya bisa menjadi
pilihan pasar dan bisa mematahkan dominasi produk coklat asing di pasar Indonesia. "Visi
saya bagaimana melakukan pemberdayaan pangan lokal," katanya. Sehingga kata dia, dengan
pemberdayaan pangan lokal serapan tenaga kerja lokal semakin tinggi misalnya jika singkong
dikembangkan maka berapa banyak petani yang bisa hidup, berapa banyak kuli panggul yang
bekerja, berapa banyak pekerja pemotong singkong yang terserap dan lain-lain. Meskipun
dengan idealisme yang tinggi, Firmansyah tak gigit jari, usahanya yang dirintis sejak 2006
sudah membuahkan hasil yang fantastis. "Kalau dihitung-hitung omset saya sampai ratusan
juta per bulan. Setahun bisa sampai Rp 10 miliar lebih," katanya. Bagaimana mau mencoba
dengan pangan-pangan lokal lainnya?
Firmansyah Budi
Jl. Bugisan 36, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta 55251
Email: homygroup@yahoo.com
(Suhendra - detikFinance ).
Menyasar segmen pekerja, sukses lewat dunia maya
Bosan menjadi pekerja selama 15 tahun, Hikmanul Hakim memutuskan membuka usaha jualan
busana muslim. Kegagalan di tahun pertama membuatnya lebih berani memasarkan produk secara
online. Alhasil, bisnisnya sukses di dunia maya. Menjelang Lebaran, busana muslim menjadi sangat
laku. Rupanya, orang ingin merayakan kemenangan setelah berpuasa, sembari berkumpul dengan
keluarga, memakai baju baru. Salah satu yang menikmati berkah di masa seperti sekarang adalah
Hikmanul Hakim.
Meski hanya memiliki satu butik di ITC BSD, Hakiem – begitu ia biasa
disapa – sukses berbisnis busana muslim secara online. Ia memasarkan
90% produknya lewat website dan situs jejaring sosial. Dalam sehari, ia
meraup omzet Rp 7 juta sampai Rp 10 juta. Tapi, sejak sebulan terakhir,
omzetnya bisa mencapai Rp 20 juta per hari. Kesuksesan Hakim ini tidak
datang dari langit. Ia merintis butik busana muslim Rumah Madani
dengan keringat. Pria kelahiran Sidoarjo, 7 Februari 1969, ini dibesarkan
di keluarga pegawai negeri sederhana. Ayahnya adalah seorang staf di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan sang ibu guru.
Sejak kecil, Hakim sudah didorong untuk berprestasi secara akademis.
Ia selalu fokus pada studi. “Boro-boro mikirin soal bisnis,” ujarnya.
Hasilnya, ia selalu juara kelas. Puncaknya, ia menamatkan kuliah di
Institut Teknologi Surabaya, Jurusan Teknik Fisika bidang Instrumentasi, dengan predikat sangat
memuaskan. Selulus kuliah pada 1992, Hakiem merantau ke Jakarta. Penyuka ilmu eksakta ini
bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan teknologi informasi (TI). “Saya belajar TI secara
otodidak,” ungkapnya. Selanjutnya, selama 15 tahun, ia berpindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain, hingga terakhir bekerja di PT Fujitsu Indonesia.
Sebenarnya, Hakiem cukup mapan dengan kariernya. Gajinya tergolong besar. “Selalu di atas Rp 10
juta,” ungkapnya. Tapi, ia merasa jenuh. Kemacetan ibukota dan jadwal kerja yang ketat
membuatnya tidak nyaman. Di pikirannya, ia ingin mengubah cara mencari nafkah dengan berbisnis.
Hakiem lantas mensurvei segala jenis bisnis, dari jual beli beras sampai waralaba burger. Ia sempat
terpikir membuka usaha konsultan IT sendiri. Tapi, ia tak pernah bisa merealisasikan sementara
belum keluar dari tempat kerja.
Ayah dari Fahmi, Jihad, dan Hanif ini pun resmi mundur pada April 2007. “Saat itu, keluarga besar
saya heboh, mengatai saya bodoh karena melepas kemapanan,” kenangnya. Untunglah sang istri
tercinta tetap mendukung lantaran lebih punya waktu untuk keluarga.
Gagal di tahun pertama
Hakiem akhirnya memutuskan berbisnis busana muslim. Ia melihat, peluangnya cukup besar. Pada
Mei 2007, ia membuka butik Rumah Madani di ITC BSD. Modal awalnya Rp 40 juta, setengah di
antaranya untuk untuk sewa tempat. Di butiknya, Hakiem menjual aneka busana muslim dan
aksesorinya seperti kerudung, jilbab, dan cadar. Harga jualnya berkisar Rp 80.000 sampai Rp
500.000. “Segmennya untuk kalangan menengah ke atas, terutama para pekerja,” ujarnya.
Di tahun pertama, bisnis Hakiem sudah meredup. Omzet penjualannya sangat kecil. “Profit kotornya
hanya Rp 1 juta tiap bulan, habis untuk membayar gaji SPG,” terangnya. Praktis selama setahun, sang istri yang bekerja di Pamulang Medical Center lebih banyak menafkahi keluarga. Kegagalan itu
sempat membuat Hakiem frustrasi, tapi sekaligus memacu semangat. “Saya tahu, penyebab
kegagalan itu karena jaringan penjualan belum ada, kurang pemasok, kualitas barang, terutama
model, tren, dan reputasi butik masih kurang,” ujarnya.
Di tahun kedua, Hakiem berusaha memperbaiki. Ia mulai mensurvei selera pasar dan memilih
pemasok yang bagus. Ia juga mulai merintis menjual secara online sejak Juni 2007. Awalnya, Hakiem
membuat sebuah blog untuk mempromosikan tokonya. Setengah tahun jalan, penjualannya bagus.
Pembeli terbanyak berasal dari karyawan kantor. Ia juga menjaring pembeli dari mancanegara.
“Paling banyak dari Malaysia dan Singapura,” ujarnya.
Pada 2008 itu, Hakiem membuat situs www.rumahmadani.com. Ia juga memanfaatkan situs jejaring
sosial seperti Facebook. “Sekarang ini siapa, sih, yang tidak punya Facebook?” ungkapnya. Saat ini,
Rumah Madani sudah memiliki 80.000-an fans di Facebook. Sejak awal 2008, omzet penjualan
busana muslim Rumah Madani naik drastis. Dalam sehari, pendapatannya bisa mencapai Rp 10 juta.
Sekitar 90% berasal dari transaksi secara online. “Penjualan secara online ternyata lebih efektif
karena bisa menjangkau pasar yang lebih luas dengan biaya operasional murah,” katanya.
Dengan mengambil margin untung antara 5%–60%, saat ini, penjualan rata-rata sehari sekitar 300
barang. Dengan mempekerjakan 12 karyawan, kini, ia hanya memantau bisnis dari rumah. Ia ingin
ekspansi dengan mendirikan butik di daerah. “Saya ingin Rumah Madani menjadi rujukan pertama
orang dalam mencari busana muslim di Indonesia,” terangnya.
Reff:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/45739/Menyasar-segmen-pekerjasukses-lewat-dunia-maya
(whd)
Petakumpet, dari Komunitas Menjelma Jadi Biro Iklan Papan Atas
Good is not enough!
Ya, Bagus saja tidak cukup!Begitulah slogan yang dikibarkan Petakumpet. Sebuah perusahaan yang
sangat percaya bahwa berjualan ide adalah bisnis sangat mahal meski hanya bermodal nol besar.
KARYA-karya Petakumpet yang banyak terpampang di berbagai sudut Jogjakarta, media, maupun di
tempat-tempat strategis sebenarnya sudah menggambarkan sebesar apa perusahaan itu. Belum lagi,
sederet penghargaan yang berhasil disabet dalam berbagai kompetisi di dunia periklanan. Tapi, siapa
yang menyangka kelahiran PT Petakumpet berawal dari sebuah komunitas.
Petakumpet berangkat dari sebuah komunitas
mahasiswa Desain Komunikasi Visual FSR ISI Jogja
angkatan 1994. Terbentuk kali pertama sebagai sebuah
komunitas pada 1 Mei 1995. Komunitas itu hanya
bermarkas di studio kecil di Pakuncen, Jogja.
Anggotanya kurang lebih 25 orang. Kala itu, order kecilkecilan
mulai didapat dengan promosi dari mulut ke
mulut. Waktu itu banyak anggota masih aktif sebagai
mahasiswa ISI Jogja. Sejak membentuk studio kecil
tersebut, anggotanya kuliah sambil bisnis kecil-kecilan.
Antara lain, memproduksi stiker, sablon, poster, spanduk, dan komik. Mereka bermimpi di kemudian
hari menjadikan Petakumpet sebagai tambang uang.
Demi mengejar mimpi, seluruh order dan usaha pengembangan bisnis dilakoni. Akibatnya, banyak
''penghuni'' Petakumpet yang memutuskan cuti kuliah tanpa batas waktu yang jelas. Mereka
kompak mengejar mimpi-mimpi itu. ''Hanya bermodal keberanian dan semangat, dipadukan dengan
kerasnya dengkul,'' ujar Executive Creative Director PT Petakumpet Creative Network Arief Budiman.
Namun, siapa sangka, itu merupakan awal berdirinya Petakumpet yang mulai dikenal di kalangan
periklanan. Sejat saat itu, Petakumpet mulai aktif mengadakan atau mengikuti pameran sebagai
wujud komunikasi dan interaksi melalui media desain grafis dan ilustrasi. Aktivitas tersebut mampu
mewarnai setiap individu di dalamnya. Mereka menjadi memiliki keterikatan secara moral dan etika
untuk menjaga nama baik komunitasnya.
Konsep studio juga memberikan banyak kemudahan dan kebebasan. Namun, ikatan yang longgar
bagi anggota justru menyebabkan kelambanan bergerak, kesulitan pengelolaan, dan mengganjal
pertumbuhan komunitas menjadi besar. Akhirnya, malah banyak anggota yang mengalami
keputusasaan sehingga tak sedikit yang sibuk dengan usaha sendiri-sendiri di luar. Dari gejala-gejala
itulah, muncul pemikiran bagaimana agar energi kreatif yang dimiliki anggota lebih efektif. Dari situ
mulai berpikir membuat nama Petakumpet dikenal lebih luas, serta memperbaiki manajemen. Tak
bisa hanya mengandalkan bentuk komunitas yang kalau pekerjaannya selesai, untungnya langsung
dibagi-bagi. ''Kalau koordinatornya adil, kemungkinan tak menjadi masalah. Kalau tidak, bisa
bertengkar hebat antarteman,'' imbuh Arief.
Lalu, pada September 1999, lima orang di dalamnya, Arief, Itok, Eri, Yudi, dan Bagoes, sepakat
mereinkarnasi komunitasnya menamakan perusahaannya Petakumpet AIM (advertising,illustration,
multimedia). Dengan berubah menjadi perusahaan, mulai ada aturan main, prosedur kerja, job
description, sekaligus upah yang jelas. Dengan hanya bermodal dua komputer 386 DX, satu scanner,
satu printer, dan sebuah kompresor, markas dipindah dari daerah Pakuncen ke rumah yang harus ditempuh melewati gang sempit di daerah Sorowajan. Dalam perkembangannya, kata Arief,
perusahaan itu melewati berbagai rintangan yang tak bisa dihindari. Di antaranya, ketiadaan modal
yang cukup serta SDM dan link bisnis yang terbatas. Berkat semangat untuk maju, berbagai
tantangan berhasil dilalui. Singkat cerita, dengan semangat itulah, pada 7 Maret 2003, perusahaan
kecil tersebut resmi menjadi badan usaha berbentuk perseroan terbatas dengan nama PT
Petakumpet. Dengan staf yang sudah mencapai 45 orang, perusahaan itu memiliki armada yang
lengkap untuk memberikan servis kreatif di bidang AIM.
Arief dan kru Petakumpet yang lain sepakat menganggap bisnis ide adalah bisnis yang paling murah
karena tak harus mengeluarkan modal rupiah. Tak disangka, pertumbuhan Petakumpet begitu cepat.
Jumlah kliennya terus bertambah. Dari awalnya 12 institusi dan personal, kini lebih dari 350 klien.
Petakumpet juga sudah memiliki dua kantor besar di Sleman, Jogja, dan di Bellagio Boutique Mall,
Mega Kuningan, Jakarta. (nis/jpnn/oki)
Sumber: Jawapos, Minggu, 06 September 2009
Posted by petakumpet at :http://ptpetakumpet.blogspot.com/
(whd)
KISAH CERITA SUKSES SAYA DAPAT MODAL USAHA DARI KOPERASI GLOBAL NUSANTARA JAKARTA
ReplyDeleteKetua koperasi global nusantara atas nama bpk drs.h. riswandi.s.e no hp beliau 0853-2174-0123
asalamualaikum saya ingin berbagi cerita kisah sukses saya terima modal usaha dari KOPERASI GLOBAL NUSANTARA yang beralamat'kan di GEDUNG PLAZA SENAYAN JAKARTA lantai 2 A5, Perkenl'kan saya atas nama RIDWAN merupakan pengusaha furnitur yang juga anggota KOPERASI GLOBAL NUSANTARA. Pada awalnya saya bekerja di Jepara selama 2 tahun sebagai pengrajin furnitur, namun sejak 3 tahun belakangan ini, saya mengelola usaha furniturnya sendiri di Pati. Saya memulai usaha ini dengan modal yang terbatas serta gudang kecil dan 8 karyawan. Seiring dengan semangat dan konsistensi kualitas produk ini, saya memiliki cita-cita untuk mengembangkan usaha ini. Sehingga beberapa bulan yang lalu saya ketemu pengusaha sukses yang di sebut bpk H BUDIMAN, Alhamdulillah setelah
saya terbuka dari masalah saya yang lagi terbentur di modal usaha, alhamdulillah beliau memberikan no hp ketua KOPERASI GLOBAL NUSANTARA BELIAU ATAS NAMA DRS.H. RISWANDI S.E No hp beliau. 0853-2174-0123 dan singkat cerita saya'pun memberanikan diri menghubungi beliau dan saya terbuka masalah modal usaha saya, alhamdulillah beliau memberikan 1 berkas pinjaman dana senilai 500 Juta, dan masalah pikbed dana'nya cuman 2% selama 3 tahun pinjaman, jadi pikbed pinjaman total 510.000.000 dan masalah persyaratan beliau hanya minta beberapa copy'an berkas yang pertama Foto copy Kk dan KTP 5 lembar, pas foto 3x4 5 lembar dan bukti adimistrasi pencairan dana senilai 2,5 % dari nilai permohonan dana, dan saya pun sempat berpikir jangan jangan ini penipuan tapi saya juga percaya dan yakin karena orang yan memberi aku no hp beliU adalah orang yang terpercaya dan ternama di PATI JAWA TENGAH jadi saya langsun selesai.kan adm'nya yang 2,5 % total 12.500.000 saya transfer ke rek bendahara koperasi global nusantara langsun ke ibu NOVI YENNI, jadi dari itu saya tetap semangat dapat modal usaha tersebut jadi setelah saya lengkapi persyaratan.nya 1 jam kemudian saya ada tlp langsun dari bpk DRS.H.RISWANDI. S.E untuk saya di perintah'kan cek dana'nya melalui rekening yang saya ajuh'kan sama beliau DRS.H.RISWANDI.S.E alhamdulillah setelah saya cek di perbankan ternyata ini seperti mimpi saldo saya bertambah 500 juta, sekarang saya membangun gudang yang lebih luas agar dapat menambah kapasitas produksi ini. Saat ini furnitur buatan saya sudah tersebar dan dipasarkan di Sumatera dan daerah lainnya. Bagi saya, pinjaman KOPERASI GLOBAL NUSANTARA berdampak sangat positif bagi usahanya hingga bisa meningkatkan kapasitas produksi dan memenuhi permintaan yang sangat tinggi pada saat bulan Lebaran lalu. Pada awalnya hanya berkapasitas produksi untuk 2 truk, saat ini bisa memenuhi permintaan sebanyak 6 truk. Dengan karyawan sebanyak 25 orang, Rukani memiliki rencana untuk ekspansi dan berharap bisa terus menjadi anggota KOPERASI GLOBAL NUSANTARA JAKARTA.